jpnn.com, JAKARTA - Ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, menegaskan bahwa surat-menyurat antarkementerian yang menjadi dasar penugasan impor tidak dapat disamakan dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini disampaikan Chairul Huda dalam persidangan impor gula di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Senin (6/10).
"Saya kira bukan. Bukan peraturan perundang-undangan. Itu kan surat kebijakan. Jadi kalau tidak memenuhi ketentuan surat tersebut tidak dianggap sebagai melawan hukum," jelas Chairul Huda.
Pernyataan ini penting karena unsur 'melawan hukum' dalam Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor mensyaratkan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
Ahli tersebut lebih lanjut mempersempit makna 'melawan hukum' dalam konteks korupsi. Ia menekankan bahwa inti dari tindak pidana korupsi adalah motivasi di balik perbuatan tersebut.
"Yang dilarang sebenarnya perbuatan memperkayanya. Memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang lain atau memperkaya korporasi secara melawan hukum. Ini yang dilarang," ujarnya.
Dia menyoroti bahwa niat untuk memperkaya adalah hal sentral, bukan sekadar pelanggaran prosedur. Chairul Huda juga memperkenalkan prinsip hukum dimana tujuan dapat mengalahkan proses.
"Di dalam hukum sebenarnya ada prinsip tujuan itu mengalahkan proses. Tujuannya tercapai nggak? Kalau tujuannya tercapai, ya prosesnya tadi tidak lagi jadi penting," kata dia.
Diterapkannya dalam kasus ini, ia melihat bahwa keputusan impor memiliki tujuan mulia. "Jadi, dari sisi ini, kalau menurut saya, walaupun betul tadi tidak ada rapat koordinasi, itu bukan sesuatu tujuannya untuk memperkaya, tapi tujuannya untuk stabilisasi harga dan menyediakan stok gula," tambahnya.